Oleh :
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf hafidzahullah
Al Kisah
Konon
dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada seorang
pemuda yang bernama Alqomah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin
sholat, banyak puasa dan suka bershodaqoh. Suatu hari dia sakit keras, maka
istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
meberitahukan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang keadaan
Alqomah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengutus Ammar
bin Yasir, Shuhaib ar Rumi dan Bilal bin Robah radhiyallahu ‘anhum untuk
melihat keadaannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pergilah
kerumah Alqomah dan talqinlah untuk menguncapkan Laa ilaha Illallah.”
Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata pada saat itu Alqomah sudah dalam
keadaan naza’, maka segeralah mereka mentalqinnya, namun ternyata lisan Alqomah
tidak bisa mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Langsung saja mereka laporkan
kejadian ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya,”Apakah dia masih mempunyai kedua
orang tua?” Ada yang menjawab,”Ada, wahai Rasulullah, dia masih mempunyai
seorang ibu yang sudah tua renta.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
berpesan kepada utusan tersebut,”Katakan kepada ibunya Alqomah, jika dia masih
mampu untuk berjalan menemui Rasulullah, maka datanglah, namun jika tidak, maka
biarlah Rasulullah yang datang menemuinya.” Tatkala utusan itu sampai ketempat
ibunya Alqomah, dan pesan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah
disampaikan, maka dia berkata,”Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka dia pun memakai tongkat dan
berjalan mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesampainya
dirumah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia mengucapkan salam dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab salamnya, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku
dengan jujur. Sebab jika engkau berbohong maka akan datang wahyu dari Allah
azza wa jalla yang akan memberitahukan (hal itu) kepadaku. Bagaimana sebenarnya
keadaan putramu Alqomah?” maka sang ibu menjawab,”Wahai Rasulullah, dia rajin
mengerjakan shalat, banyak puasa, dan senang bersedekah.” Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,”Lalu bagaimana perasaanmu terhadapnya?”
Dia menjawab,”Saya marah kepadanya wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Kenapa?” Dia menjawab,”Wahai Rasulullah, dia
lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya, dan dia pun durhaka kepadaku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya kemarahan
sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan
syahadat.” Kemudian beliau bersabda,”Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu
bakar yang banyak.” Si Ibu bertanya,”Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau
lakukan.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,”Saya akan membakarnya dihadapanmu.”
Dia menjawab,”Wahai Rasulullah, saya tidak tahan apabila engkau membakar anakku
dihadapanku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,”Wahai ibu
Alqomah, sesungguhnya adzab Allah azza wa jalla lebih pedih dan lama. Kalau
engkau ingin agar Allah azza wa jalla mengampuninya, maka relakanlah anakmu
Alqomah. Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sholat, puasa, dan
sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah
kepadanya.” Lantas sang ibu ini berkata,”Wahai Rasulullah, Allah azza wa jalla
sebagai saksi, serta semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah
ridho kepada anakku Alqomah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun
berkata kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu,”Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan
lihatlah apakah Alqomah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum.
Barangkali ibu Alqomah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari hatinya,
atau barangkali dia hanya malu kepadaku.” Bilal pun berangkat, dan ternyata dia
mendengar Alqomah dari dalam rumah mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Maka
Bilal masuk dan berkata,”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu
Alqomah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat,
dan ridhonya telah menjadikannya mampu mengucapkan.” Dan akhirnya Alqomah
meninggal dunia saat itu juga. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melihatnya dan memerintahkan agar dia dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam mensholatinya dan menguburkannya, dan didekat
kuburan itu beliau bersabda,”Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshor,
barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, maka dia akan mendapatkan
laknat dari Allah azza wa jalla, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah azza
wa jalla tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau
bertaubat, dan berbuat baik kepada ibunya, serta meminta keridhoannya, karena
ridho Allah azza wa jalla tergantung pada ridhonya dan kemarahan Allah azza wa
jalla tergantung pada kemarahananya.”
Kemasyhuran
Kisah Ini
Kisah ini
dengan perincian peristiwanya di atas sangat masyhur di kalangan kaum muslimin.
Para penceramah selalu menyebutkan ketika berbicara tentang durhaka kepada
kedua orang tuanya. Bahkan sepertinya, jarang sekali kaum muslimin yang tidak
mengenal kisah ini. Dan yang semakin membuatnya masyhur adalah bahwa kisah ini
terdapat dalam kitab al Kabair yang disandarkan kepada al Hafidz adz
Dzahabi rahimahullah. Padahal kitab al Kabair yang terdapat kisah ini,
bukanlah tulisan Imam adz Dzahabi rahimahullah, sebagaimana hal ini dijelaskan
oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman rahimahullah dalam kitab beliau Kutubun
Hadzara Minha Ulama, juga dalam muqoddimah kitab adz Dzahabi rahimahullah
yang sebenarnya.
Kisah ini
juga terdapat dalam kitab-kitab yang membicarakan tentang kewajiban berbuat
baik kepada kedua orang tua. Namun itu semua tidaklah dapat menjadi jaminan
bahwa kisah ini shohih.
Takhrij
Hadits Ini
Hadits yang
menyebutkan kisah ini secara umum diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/382, Thobroni,
Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/197, dan dalam Dala’ilun Nubuwwah 6/205.
Semuanya dari jalan: Yazid bin Harun berkata, telah menceritakan kepada kamu
Fa’id bin Abdirrohman, (dia) berkata, “Saya mendengar Abdullah bin Abi Aufa
berkata,”Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam seraya berkata,”Wahai Rasulullah, disini ada seorang pemuda yang
sakaratul maut, dia disuruh untuk mengucapkan syahadat namun tidak bisa
mengucapkannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,”Bukankah
dia mengatakannya selama hidupnya?” dijawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya,”Lalu apa yang menghalanginya
untuk mengucapkan syahadat saat akan mati?”…..Lalu selanjutnya diceritakan
tentang kisah pemuda ini yang durhaka kepada ibunya, dan keinginan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membakarnya yang akhirnya ibunya ridho
kepadanya, dan dia pun bisa mengucapkan syahadat, lalu meniggal dunia sampai
akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Segala puji bagi
Allah azza wa jalla yang menyelamatkannya dari api neraka.”
Derajat
Hadits Ini
Kisah ini :
LEMAH SEKALI
Sisi
kelemahannya adalah bahwa kisah ini diriwayatkan hanya dari jalur Abul Warqo’
Fa’id bin Abdirrahman, sedangkan dia adalah seorang yang ditinggalkan
haditsnya, dan seorang yang tertuduh berdusta.
Berkata Ibnu
Hibban rahimahullah,”Dia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar
dari orang-orang yang terkenal. Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dengan
hadits-hadits yang mu’dhol, maka tidak boleh berhujjah dengannya.
Berkata Imam
Bukhari rahimahullah,”Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa, dan dia seorang yang
munkar hadits.”
Berkata Ibnu
Hajar rahimahullah,”Dia orang yang lemah, tidak tsiqoh, dan ditinggalkan
haditsnya dengan kesepakatan para ulama.”
Oleh karena
itu para ulama telah melemahkan hadits ini, diantaranya:
1. Imam
Ahmad dalam Musnad beliau
2. Al Uqoili
dalam adh Dhu’afa al Kabir 3/461
3. Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/198
4. Ibnul
Jauzi dalam al Maudhu’at 3/87
5. Al
Mundziri dalam at Targhib wat tarhib 3/222
Karena
beliau meriwayatkan kisah ini dengan lafaz (ra waw ya – diriwayatkan).
Sedangkan beliau mengatakan dalam muqoddimah kitab tersebut: apabila dalam
sanad sebuah hadits terdapat seorang pendusta, pemalsu hadits, tertuduh
berdusta, disepakati untuk ditinggalkan haditsnya, lenyap haditsnya, lemah
sekali, lemah atau saya tidak menemukan penguat yang memungkinkan untuk
mengangkat haditsnya menjadi hasan, maka saya mulai dengan lazadz (ra waw ya –
diriwayatkan). Dan saya tidak menyebutkan siapa perowinya juga tidak saya
sebutkan sisi cacatnya sama sekali. Dari sini maka sebuah sanad yang lemah bisa
diketahui dengan dua tanda, pertama: dimulai dengan lafadz (ra waw ya –
diriwayatkan), dan tidak ada keterangan sama sekali setelahnya.”
6. Adz
Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at no.874
7. Al
Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 8/148
8. Ibnu
‘Aroq dalam Tanzihusy Syari’ah 2/296
9. Asy
Syaukani dalam Al Fawa’id al Majmu’ah
10. Al
Albani dalam Dlo’if Targhib
Ganti Yang
Shohih
Setelah
diketahui kelemahan hadits ini, maka tidak boleh bagi siapapun untuk
menyebutkan kisah ini saat membahas tentang kewajiban berbakti kepada kedua
orang tua dan larangan durhaka kepadanya. Namun perlu diketahui bahwa berbakti
kepada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban syar’i dan durhaka adalah sebuah
keharaman yang nyata. Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan hal ini,
diantaranya:
Firman Allah
azza wa jalla (yang artinya):
“Dan
Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” [QS.al Isro’:23]
Dari
Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ada seseorang yang datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata,”Saya datang demi
berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku
menangis.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kembalilah
kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau
membuat keduanya menangis.” [HR.Abu Dawud dengan sanad shohih.lihat Shohih
Targhib: 2481]
Dari
Abdullah bin Umar berkata, “Saya mempunyai seorang istri yang saya cintai,
namun Umar membencinya, dan dia mengatakan kepadaku, “Ceraikan dia.” Saya pun
enggan untuk menceraikannya. Maka Umar datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam lalu menyebutkan kejadian itu, maka Rasululah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata kepadaku,”Ceraikanlah dia.” (HR.Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’I, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan beliau menshohihkannya. Berkata
Tirmidzi: “Hadits ini Hasan Shohih.”)
Dari
Abdullah bin Amr bin Ash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,”Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada
kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR.Bukhari)
Dan untuk
mengetahui banyak hadits tentang pahala berbuat bakti kepada kedua orang tua
dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah shohih Targhib wat
Tarhib Oleh Syaikh al Albani rahimahullah pada bab ini. Wallahu A’lam.
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al
Furqon Edisi 06 Tahun ketujuh / Muharrom 1429 / Jan-Feb 2008 Hal.56-58
Tiada ulasan:
Catat Ulasan